Naskah Drama Mahabarata Bahasa Indonesia

Mahabharata
महाभारतम्
Mahabharata

Ilustrasi perang Kurukshetra

Informasi
Agama Hindu
Dabir Kresna Dwaipayana Byasa (Byasa)
Bahasa Sanskerta
Ayat 200.000


Mahabharata


(Dewanagari: महाभारतम्;,IAST:
Mahābhāratam


,
महाभारतम्
)

ialah riuk suatu berusul dua wiracarita ki akbar India Kuno nan ditulis privat bahasa Sanskerta, nan satunya lagi adalah
Ramayana.[1]
Mahabharata
menceritakan kisah perang antara Pandawa dan Korawa (Kurawa) memperebutkan kedudukan Hastinapura.

Mahabharata
banyak memuat metafisika dan peribadatan Hindu, dan menggosipkan Catur Tujuan Roh Manusia (12.161). Di antara karya dan cerita nan termuat dalam
Mahabharata
adalah Bhagawadgita, narasi Nala dan Damayanti, kisah Satyawan dan Sawitri, kisah Kaca dan Dewayani, kisah Resyasrengga, dan rangkuman
Rāmāyaṇa, rajin dianggap sebagai karya nan berdiri sendiri.

Secara tradisional,
Mahabharata
dikarang maka dari itu Kresna Dwaipayana Byasa. Telah banyak upaya membongkar perkembangan sejarah dan komposisinya. Sebagian besar skenario
Mahabharata
kebolehjadian disusun pada abad ke-3 sebelum Masehi sampai abad ke-3 Serani, dan fragmen tertua yang dilestarikan disusun tidak sampai 400 SM.[2]
[3]
Peristiwa asli yang gandeng dengan wiracarita tersebut kemungkinan terjadi antara abad ke-9 sampai ke-8 SM.[3]
Bentuk final dari skrip tersebut diduga dibuat pada musim Gupta (sekitar abad ke-4 M).[4]
[5]

Mahabharata
menjadi salah satu wiracarita terpanjang di marcapada dan pula disebut sebagai “puisi terpanjang yang pernah dibuat”.[6]
[7]
Versi terpanjangnya memiliki kian dari 100.000
śloka
ataupun lebih mulai sejak 200.000 lajur (satu sloka sebanding dengan dua baris), dan prosa nan adv amat panjang. Dengan seputar 1,8 juta prolog, skenario
Mahabharata
memiliki jumlah kata sekira sepuluh bisa jadi lipat gabungan antara
Iliad
dan
Odisseia, atau empat barangkali lipat makin jenjang daripada
Ramayana.[8]
[9]
W. J. Johnson telah membandingkan peranan
Mahabharata
dalam sejarah tamadun individu dengan Bibel, karya William Shakespeare, karya Homeros, drama Yunani, dan juga al-Qur’an.[10]
Dalam tali peranti India, naskah
Mahabharata
sayang disebut lagi Weda kelima.

Sejarah dan struktur tekstual

[sunting
|
sunting sumber]

Wacana secepat-cepatnya yang diketahui tentang bhārata dan kata bermacam-macam mahābhārata bermula dari Aṣṭādhyāyī (makao 6.2.38) dari Pāṇini (abad ke-4 SM) dan Aśvalāyana Gṛhyasūtra (3.4.4). Albrecht Weber sempat menyebutkan akan halnya suku Rgvedic bersumber Bharatas, di mana koteng yang ternama siapa pernah ditunjuk sebagai Mahā-Bhārata.

Suntingan teks

[sunting
|
sunting sumber]

Antara tahun 1919 dan 1966, para pakar di
Bhandarkar Oriental Research Institute, Pune, membandingkan banyak naskah semenjak wiracarita ini yang asalnya dari India dan asing India cak bagi menerbitkan suntingan teks peka dari
Mahabharata. Suntingan pustaka ini terdiri berpunca 13.000 jerambah nan dibagi menjadi 19 jilid. Lalu suntingan ini diikuti dengan
Harivaṃsa
kerumahtanggaan 2 jilid dan 6 jilid penunjuk. Suntingan teks inilah nan biasa dirujuk bakal selidik mengenai
Mahabharata.[11]

Daftar parwa

[sunting
|
sunting perigi]

Mahabharata
merupakan kisah epik nan terbagi menjadi delapan belas kitab atau comar disebut Astadasaparwa. Perhubungan kitab membualkan sejumlah cerita berbingkai, terutama narasi kilas balik leluhur para tokoh utama
Mahabharata
(Yayati, Yadu, Patek, Kuru, Duswanta, Sakuntala, Bharata). Kemudian cerita utama tersusun secara berantai, mulai dari kelahiran Pandawa dan Korawa (Adiparwa), sampai kisah diterimanya mereka di surga (Swargarohanaparwa).

1.
Adiparwa
(आदिपर्व)

– Kitab Akan halnya Purwa
Kitab
Adiparwa
sakti bilang cerita sisipan (interpolasi) yang mengandung mitologi Hindu. Beberapa di antaranya meliputi: kisah pemutaran Mandaragiri (Samudramantana), kisah Bagawan Domya yang menguji ketiga muridnya, kisah Beling dan Dewayani, serta kisah Jaratkaru dan Manasa. Kisah sisipan nan berkaitan dengan plot penting menutupi: kisahan tentang para nenek moyang Pandawa dan Korawa (Yayati, Puru, Pratipa), kisahan kelahiran Resi Byasa, serta cerita Santanu dan kedua istrinya (Gangga dan Satyawati). Kisah utama dimulai dengan kisah kelahiran Dretarastra (ayah para Korawa), Pandu (ayah lima Pandawa), dan Widura (mangkubumi menteri), yang berlanjut dengan kelahiran para Pandawa dan Korawa, kisah masa kanak-kanak dan pendidikan mereka, kisah percobaan pemusnahan kepada Pandawa, kisah ijab nikah Pandawa dengan Dropadi, kisah petualangan Arjuna (Pandawa ketiga), dan cerita pembakaran hutan Kandawa.
2.
Sabhaparwa
(सभापर्व)

– Kitab Tentang Pertemuan Akbar
Kitab
Sabhaparwa
ampuh kisah utama tentang pertemuan para Pandawa dan Korawa di sebuah auditorium untuk bermain judi, nan digagas oleh Duryodana (Korawa wayan) dan Sangkuni (mamak para Korawa). Perjudian tersebut dilakukan moga harta dan istana Yudistira (Pandawa wayan) jatuh ke tangan Duryodana. Karena usaha licik Sangkuni, permainan dimenangkan oleh Korawa, cuma Dretarastra membatalkan seluruh taruhan. Atas desakan Duryodana, permainan diselenggarakan lagi dengan taruhan menjalani terungku sejauh 12 tahun, disusul masa penyamaran selama setahun. Apabila penyamaran terbongkar sebelum genap setahun, maka masa kerangkeng diulangi pun. Sebagaimana permainan sebelumnya, Pandawa pun kalah.
3.
Wanaparwa
(वनपर्व)

– Kitab Tentang di Rimba
Kitab
Wanaparwa
berisi narasi utama akan halnya bagaimana para Pandawa menjalani kehidupan di hutan selama perian 12 tahun. Dalam kitab tersebut juga diceritakan narasi Arjuna yang bersuluk di gunung Himalaya bakal memperoleh senjata berisi pasupati berpunca Dewa Siwa. Kisah tersebut menjadi bahan cerita
Kakawin Arjunawiwaha
kerumahtanggaan kesusastraan Indonesia.
4.
Wirataparwa
(विराटपर्व)

– Kitab Mengenai [Keraton] Wirata
Kitab
Wirataparwa
kebal kisah penting tentang penyamaran Pandawa sepanjang satu tahun di puri Wirata, Kerajaan Matsya setelah radu menjalani pengasingan di jenggala selama 12 periode. Mengenai rincian penyamaran para Pandawa sebagai berikut: Yudistira menyamar perumpamaan mutakalim bernama Kangka, Bima menyamar sebagai juru menguning bernama Balawa, Arjuna menyamar sebagai guru tari bernama Wrehanala, Nakula menyamar sebagai pegurus kuda bernama Grantika, Sadewa menyamar andai penggembala sapi bernama Aristanemi ataupun Tantripala. Padahal, istri mereka yaitu Dropadi menyamar laksana pelayan (sairandri) bernama Malini.
5.
Udyogaparwa
(उद्योगपर्व)

– Kitab Tentang Ikhtiar
Kitab
Udyogaparwa
berisi cerita terdahulu adapun upaya kerjakan menengahi para Pandawa dengan Korawa. Sehabis menjalani penyamaran selama setahun, para Pandawa pun ke Hastinapura, dan Yudistira sebagai putra barap menuntut haknya perumpamaan pewaris takhta. Tuntutan Yudistira ditolak oleh Duryodana. Kresna yang bertindak bak juru damai gagal mengakurkan perdamaian dengan Korawa. Sebelumnya, para Pandawa dan Korawa telah mencari sekutu paling-paling di penjuru
Bharatawarsha
(“Tanah India”), dan hampir seluruh kerajaan pada zaman India kuno terbagi menjadi dua gerombolan.
6.
Bhismaparwa
(भीष्मपर्व)

– Kitab Tentang Bisma
Kitab
Bhismaparwa
yaitu kitab yang menceritakan tentang bermulanya pertempuran di Kurukshetra akibat pil perundingan berbaik antara Pandawa dan Korawa. Plong beberapa bagian awalnya tersisip suatu interpolasi adapun percakapan antara Kresna dan Arjuna menjelang perang berlangsung. Oleh umat Hindu, percakapan tersebut dirangkum menjadi sebuah kitab tersendiri, nan dikenal sebagai kitab
Bhagawadgita
(“Bhagavad-Gītā”). Cerita dalam kitab
Bhismaparwa
diakhiri dengan tumbangnya Bisma pada pertempuran di masa kesepuluh, karena serangan bertubi-tubi berbunga Arjuna yang dibantu oleh Srikandi.
7.
Dronaparwa
(द्रोणपर्व)

– Kitab Tentang Drona
Kitab
Dronaparwa
menceritakan kisah pengangkatan Bagawan Drona bagaikan senapati laskar Korawa. Diceritakan bahwa buat mengakhiri perang secepat kelihatannya, maka Drona berusaha menangkap Yudistira selaku pemimpin tertinggi laskar Pandawa, sekadar usahanya selalu gagal. Karenanya Drona gugur di medan perang karena dipenggal oleh Drestadyumna, ketika sedang tertunduk rengsa setelah mendengar berita palsu akan halnya mortalitas anaknya, Aswatama. Dalam kitab tersebut juga diceritakan kisahan gugurnya dua bahaduri unggulan pihak Pandawa: Abimanyu dan Gatotkaca.
8.
Karnaparwa
(कर्णपर्व)

– Kitab Mengenai Karna
Kitab
Karnaparwa
menceritakan narasi pengangkatan Karna seumpama panglima perang setelah gugurnya Drona. Privat kitab tersebut diceritakan gugurnya Dursasana di tangan Bima. Saat menjabat sebagai panglima, Salya menjadi kusir kereta Karna, kemudian terjadi friksi di antara mereka. Jadinya, Karna gugur di tangan Arjuna—dengan menggunakan senjata Pasupati—pada pertempuran di hari ke-17.
9.
Salyaparwa
(शल्यपर्व)

– Kitab Mengenai Salya
Kitab
Salyaparwa
berisi narasi pengangkatan Salya bak panglima perang Korawa sreg hari ke-18, mewakili Karna yang sudah lalu gugur. Pada hari itu juga, Salya luruh di ajang perang. Selepas ditinggal konsorsium dan saudaranya, Duryodana meratapi perbuatannya dan hendak menghentikan pertikaian dengan para Pandawa. Hal itu menjadi olok-olokan para Pandawa sehingga Duryodana terpancing bakal berantem dengan Bima. Dalam perbangkangan tersebut, Duryodana kalah sehingga perang kembali berakhir. Namun ia tahu mengangkat Aswatama sebagai panglima untuk membalaskan dendamnya.
10.
Sauptikaparwa
(सौप्तिकपर्व)

– Kitab Adapun Ofensif Malam
Kitab
Sauptikaparwa
berisi kisah utama tentang pembalasan kedengkian Aswatama kepada legiun Pandawa. Sreg malam hari, ia bersama Krepa dan Kertawarma menyusup ke dalam kemah pasukan Pandawa dan mendabih banyak orang, kecuali para Pandawa yang sedang lain berada di sana. Setelah itu Aswatama culik diri ke pertapaan Byasa. Keesokan harinya anda disusul oleh Pandawa dan terjadi perkelahian antara Aswatama dengan Arjuna. Byasa dan Kresna boleh menyelesaikan persoalan itu. Akhirnya Kresna menyumpahi Aswatama.
11.
Striparwa
(स्त्रीपर्व)

– Kitab Akan halnya Para Wanita
Kitab
Striparwa
berisi cerita ratap tangisan kaum wanita nan ditinggal oleh suami mereka di palagan pertempuran. Yudistira menyelenggarakan seremoni pembakaran bangkai bagi mereka yang ranggas dan menyembahkan air suci kepada nenek moyang. Pada masa itu pula, Kunti menceritakan kelahiran Karna nan menjadi buku pribadinya. Diceritakan pula bahwa Gandari mengutuk keluarga Kresna (bangsa Yadawa) agar binasa dalam perang sipil.
12.
Santiparwa
(शांन्तिपर्व)

– Kitab Tentang Kesentosaan
Kitab
Santiparwa
pintar kisah pertikaian batin Yudistira karena sudah gorok uri-saudaranya di daerah pertempuran. Kesudahannya ia diberi selang sejati maka dari itu Byasa dan Kresna. Mereka menjelaskan buku dan tujuan petunjuk Hindu kiranya Yudistira dapat melaksanakan kewajibannya ibarat raja. Kitab ini merupakan riuk suatu kitab
Mahabharata
yang mengalami banyak interpolasi sehingga sloka (ayat-ayat) yang terkandung di dalamnya sangat banyak. Berbagai ajaran India Kuno terkandung privat penyisipan tersebut, menginjak dari mantra sosial, ritual, ekonomi, hingga strategi.
13.
Anusasanaparwa
(अनुशासनपर्व)

– Kitab Tentang Wejangan
Kitab
Anusasanaparwa
berisi narasi terdepan tentang penyerahan diri Yudistira kepada Bisma untuk mengakuri ajarannya (anusasana). Bisma mengajarkan akan halnya ajaran darma, arta, adat adapun berbagai upacara, kewajiban koteng raja, dan sebagainya. Akhirnya, Bhisma meninggalkan dunia dengan tenang. Sebagai halnya
Santiparwa, kitab ini juga mengandung banyak penyisipan dan merupakan riuk satu kitab
Mahabharata
yang besaran slokanya sangat banyak.
14.
Aswamedhikaparwa
(अश्वमेधिकापर्व)

– Kitab Tentang Upacara
Aswamedha
Kitab
Aswamedhikaparwa
berisi kisah utama tentang pelaksanaan upacara
Aswamedha
oleh Yudistira yang telah menjabat bak syah. Kitab tersebut juga menceritakan narasi perdurhakaan Arjuna dengan para prabu di bumi, sepanjang engkau menuntun jalannya kuda nan dipakai bak sarana formalitas tersebut. Dalam kitab ini dikisahkan pula kelahiran Parikesit yang sediakala tewas dalam kandungan karena senjata ampuh Aswatama, namun dihidupkan kembali oleh Sri Kresna. Kemudian terdapat pula kisah pertemuan Arjuna dengan Babruwahana, putranya dengan Citrānggadā berasal Manipur.
15.Asramawasikaparwa
(आश्रमवासिकापर्व)

– Kitab Tentang Khalwat
Kitab
Asramawasikaparwa
berisi kisahan keberangkatan Dretarastra, Gandari, Kunti, Widura, dan Sanjaya ke tengah hutan bagi menjalani waktu pensiun mereka. Bertahun-tahun setelah menjalani jiwa di wana, Resi Narada hinggap ke istana Hastinapura buat mengirimkan butir-butir bahwa Dretarastra dan nan lainnya telah menyingkir ke kedewaan tewas terbakar makanya api ritual yang melalap pondokan mereka.
16.
Mosalaparwa
(मौसलपर्व)

– Kitab Tentang Senjata
Mosala
Kitab
Mosalaparwa
menceritakan perang saudara yang terjadi di antara klan-klan nasion Yadawa, yaitu tanggungan raksasa Kresna. Setelah keluarganya binasa, Kresna meninggalkan kerajaannya tinggal pergi ke tengah alas. Arjuna mengunjungi Dwaraka, kediaman Kresna dan mendapati bahwa kota tersebut telah hampa. Atas ular-ular Byasa, Pandawa dan Dropadi menempuh hidup sebagai “sanyasin”, atau menjalani pensiun dengan meninggalkan kesibukan duniawi.
17.Prasthanikaparwa
(प्रस्थानिकपर्व)

– Kitab Tentang Perjalanan
Kitab
Prasthanikaparwa
maupun
Mahaprasthanikaparwa
menceritakan kisah perjalanan Pandawa dan Dropadi ke puncak gunung Himalaya bagaikan tujuan akhir umur mereka, provisional takhta kerajaan sudah lalu diserahkan kepada Parikesit, cucu Arjuna. Dalam pengembaraannya, Dropadi dan para Pandawa (kecuali Yudistira), meninggal dalam perjalanan.
18.
Swargarohanaparwa
(स्वर्गारोहणपर्व)

– Kitab Tentang Pengangkatan ke Surga
Kitab
Swargarohanaparwa
menceritakan kisahan Yudistira yang sudah lalu mencecah puncak gunung Himalaya dan dijemput oleh Dewa Indra lakukan memasuki surga. Sebelum memasuki taman firdaus, si dewa menguji Yudistira, dan karenanya sira mampu melewati tentamen tersebut. Kisah diakhiri dengan berkumpulnya kembali para motor terdahulu di kedewaan.

Penokohan

[sunting
|
sunting sumur]

Dinasti Kuru

[sunting
|
sunting sumber]

Lukisan imajinatif adapun turunan Pandawa bersama ampean mereka. Butir-butir: Yudistira dan Dropadi duduk di tengah, Arjuna dan Bima bersimpuh sumber akar, serta Nakula dan Sadewa meleleh di samping kiri-kanan.

  • Santanu: Penguasa Kapling Kuru nan bertakhta di Hastinapura. Engkau memiliki 2 gula-gula, Bidadari Gangga dan Satyawati. Dari Dewa Gangga, ia berputra Bisma, sedangkan dari Satyawati anda memiliki dua putra, Citrānggada dan Wicitrawirya. Ia berjanji bakal mewariskan takhta Hastinapura saja kepada keturunan Satyawati.
  • Bisma: putra ke-8 Santanu dengan Dewi Gangga. Ia bersumpah tidak akan menjabat sebagai sultan dan lain kepingin punya keturunan, supaya tidak terjadi penaklukan kekuasaan dengan anak cucu Citrānggada dan Wicitrawirya, uri tirinya. Anda ialah koteng kesatria yang tangguh serta bijaksana, dan mengayomi keturunan saudara tirinya.
  • Citrānggada
    dan
    Wicitrawirya: putra Santanu dan Satyawati. Keduanya wafat minus memiliki baka. Sebelumnya, Wicitrawirya menikah dengan putri Kasi bernama Ambika dan Ambalika. Kedua janda tersebut diserahkan kepada Resi Byasa agar memperoleh keturunan.
  • Dretarastra: putra Ambika nan terlahir buta. Kebutaan membuatnya tidak berwajib mewarisi singgasana, sehingga adiknya yang bernama Pandu mengambil alih kuasa. Pasca- mortalitas Pandu, ia menjadi penjawat raja. Dretarastra menikah dengan Gandari pecah Gandhara.
  • Pandu: putra Ambalika. Anda mewarisi kursi karena kakaknya nan buta enggak berhak menjadi prabu. Ia mempunyai dua gula-gula: Kunti dan Madri. Dari Kunti, Pandu mempunyai 3 putra: Yudistira, Bima, dan Arjuna. Dari Madri, Pandu memiliki 2 putra kembar: Nakula dan Sadewa.
  • Widura: perdana menteri Hastinapura. Ia adalah anak seorang pelayan yang diberi keturunan oleh Byasa. Anda bernas dalam generasi nan sama dengan Dretarastra dan Pandu. Dikisahkan bahwa wataknya bijaksana, dan merupakan penitisan Dewa Darma (Yama).
  • Pandawa: sebutan cak bagi lima putra Pandu, yakni Yudistira (berperilaku adil dan jujur), Bima (cengkar dan bertenaga paling kuat), Arjuna (pemanah memenangi), Nakula (berwajah sangat tampan), dan Sadewa (cerdas dan mampu meramal). Di antara nasab Dretarastra dan Pandu, Yudistira yakni yang tertua dan dicalonkan kerjakan mewarisi takhta ayahnya. Menurut
    Mahabharata, kelima Pandawa menikah dengan Dropadi, pemudi Drupada dari Panchala.
  • Korawa: sebutan untuk anak-anak Dretarastra. Yang utama berjumlah seratus putra dan dilahirkan Gandari, dengan Duryodana sebagai putra sulung. Si bungsu ialah perempuan bernama Dursala yang menjadi anak asuh Gandari ke-101. Selain anak-anak asuh Gandari, Dretarastra juga memiliki sendiri putra yang lahir berpokok putri berkasta waisya, namanya Yuyutsu. Ia merupakan amung putra Dretarastra yang tidak berniat untuk memusuhi para Pandawa.
  • Parikesit: cucu Arjuna, salah satu Pandawa. Ia yaitu Sri paduka Hastinapura setelah Yudistira turun takhta. Dikisahkan bahwa ia tewas akibat gigitan ular naga Taksaka sesudah berbuat tidak sopan kepada seorang petapa bernama Samiti.
  • Janamejaya: putra Parikesit. Dia yakni Ratu Hastinapura pasca- Parikesit berpulang. Setelah memahami latar belakang penyebab kematian ayahnya, Janamejaya pun melangsungkan upacara cak bagi menyembelih seluruh ular bura di marcapada. Namun usahanya dicegah oleh brahmana bernama Astika, putra dewi ular bakau. Kerjakan ki menenangkan amarah duka sang raja, Tanda terima Byasa meminta salah suatu muridnya nan bernama Wesampayana untuk mengobrolkan narasi kemajuan para leluhur sang sunan. Kisah tersebut adalah
    Mahabharata.[12]
    [13]

Nasion Yadawa

[sunting
|
sunting perigi]

  • Basudewa: ayah lakukan Baladewa dan Kresna. Ia n kepunyaan sejumlah istri, yang terkemuka ialah Dewaki dan Rohini.
  • Baladewa: putra Basudewa dan Rohini. Nekat perkasa bersenjata luku (alat bajak sawah). Dia yakni kakak Kresna, dan guru bela diri bagi Duryodana dan Bima. Dikisahkan bahwa Baladewa sangat kuat dan disegani oleh pihak Korawa maupun Pandawa. Kapan konflik antara Pandawa dan Korawa memuncak menjadi perang di Kurukshetra, Baladewa memilih buat bersikap netral sebab hadiah sayangnya setara untuk kedua belah pihak.
  • Kresna: putra Basudewa dan Dewaki. Menurut sastra Hindu, ia ialah awatara Wisnu. Dengan kesaktiannya, dia majuh menjatah sambung tangan secara gaib kepada Pandawa. Sejumlah jalan cerita dalam
    Mahabharata
    melibatkan Kresna seumpama pemecah kelainan dan ahli siasat. Intern Perang Kurukshetra, ia tidak bertarung secara bersama-sama, melainkan menjadi pengatur taktik semoga kemenangan bisa diraih oleh Pandawa.
  • Samba: putra Kresna dan Jembawati. Karena kejahilannya dan para pemuda Yadawa lainnya, maka para resi melaknat agar kabilah Yadawa hancur privat suatu bentrokan antarsesama.
  • Satyaki: kesatria bangsa Yadawa nan memelopori satu divisi tentara solo yang disebut Laskar Narayana. Guna-guna perangnya sangat tangguh. Sungguhpun laskar Narayana seharusnya memihak Korawa, tetapi Satyaki setia kepada para Pandawa sehingga divisi pimpinannya bertarung demi Pandawa pada saat Perang Kurukshetra.
  • Kertawarma: kesatria bangsa Yadawa nan memimpin satu divisi tentara khusus yang disebut Legiun Narayana. Sebagai hasil semenjak misi diplomatis Duryodana, tentara Narayana memihak Korawa plong momen Perang Kurukshetra. Sebagai halnya kaum Yadawa lainnya, Kertawarma sangat tangguh.

Gembong lainnya

[sunting
|
sunting sendang]

Ilustrasi Byasa mendikte kisah
Mahabharata
agar bisa ditulis oleh Dewa Ganesa yang berkepala gajah.

Tanda terima dan brahmana
  • Byasa: sendiri surat bahari, putra Satyawati dengan Parasara. Sira merupakan anak Satyawati sebelum menikah dengan Santanu. Byasa diceritakan bak seseorang yang suci, mempunyai kesaktian, dan nasib awet. Engkau ialah basyar yang mengeluh garis nasab Dinasti Kuru. Perannya sangat berguna dalam wiracarita
    Mahabharata, mulai dari penasihat, penolong, sampai narator internal kisah tersebut. Secara tradisional, cerita
    Mahabharata
    diyakini maka dari itu umat Hindu sebagai catatan rekaman yang ditulis Tanda terima Byasa.
  • Krepa: guru para pangeran Kuru di keraton Hastinapura. Kamu berperan sebagai penyuluh dan pengatur upacara. Menurut tangan kanan Hindu, anda ialah salah satu makhluk abadi.
  • Drona: guru militer para pangeran Kuru. Ia menghamba kepada pemerintah Hastinapura, dan disegani maka dari itu Korawa maupun Pandawa. Ia adalah ahli bela diri dan pemakai bervariasi senjata yang silam tangguh.
  • Aswatama: putra Drona. Ia bersahabat dengan Duryodana, dan sering kondusif Duryodana intern rangka mengalahkan para Pandawa. Setelah Perang Kurukshetra berakhir, ia mengerjakan serangan malam, lalu berencana memberantas garis keturunan Kuru. Doang manuver tersebut digagalkan oleh Kresna. Sebagai akibatnya, ia dikutuk hendaknya jiwa awet dan mengembara di Bumi, saja dalam kondisi berpenyakit.
  • Narada: sendiri resi pengelana, punya kesaktian untuk hilang akal sekehendaknya dan unjuk secara mendadak. Dia cerbak membagi nasihat dan nasihat cak bagi para Pandawa saat mereka menghadapi masa-masa sulit, atau ketika merasakan keberhasilan. Selain itu, Narada berperan sebagai pemberi keterangan cak bagi para Pandawa tentang kejadian-kejadian penting di dunia yang harus mereka ketahui.
Kesatria dan perwira

  • Sangkuni: Raja Gandhara. Diceritakan bahwa karena dendamnya kepada Dinasti Kuru, ia bersumpah bakal menghancurkan para keturunan Kuru. Untuk melaksanakan sumpahnya, ia mengadu domba para Korawa dengan para Pandawa. Maka berasal itu, Sangkuni buruk perut diceritakan terlibat dalam sejumlah plot tentang persuasi Korawa menyingkirkan para Pandawa.
  • Karna: Raja Anga, nan merupakan putra Kunti. Saat lahir, ia dibuang oleh ibunya lalu dipungut oleh kusir bernama Adirata. Saat dewasa, ia menjalin persahabatan dengan Duryodana, lalu dinobatkan sebagai penguasa Anga. N domestik
    Mahabharata
    dikisahkan bahwa persahabatannya dengan Duryodana sangat karib; beliau rela mengamalkan apa lagi demi membahagiakan Duryodana, sehingga ia pelalah terlibat dalam usaha mengasingkan para Pandawa.
  • Drupada: Raja Panchala, ayah bagi Dropadi, mertua bagi para Pandawa. Diceritakan bahwa anda memiliki antipati kesumat terhadap Drona, guru para Pandawa. Maka mulai sejak itu sira menyelenggarakan satu upacara kerjakan memohon anak yang lakukan menjadi pembunuh Drona. Dari upacara tersebut, lahirlah Drestadyumna, yang di kemudian hari menyambut sebagai panglima armada Pandawa dalam Perang Kurukshetra. Karena kekagumannya akan ketangkasan Arjuna, Drupada pun memohon hidayah seorang anak perempuan nan akan menjadi ayutayutan Arjuna, sehingga lahirlah Dropadi.
  • Salya: Raja Madra. Anda adalah kakak Madri, gula-gula Pandu. Sebelum perang Kurukshetra dimulai, Salya memutuskan bakal memihak pertahanan Pandawa sebab keponakannya ada di sana. Hanya Salya merasa berhutang budi kepada Duryodana sehingga ia kembali menyebelahi Korawa. Menjelang penampikan, hatinya konstan terpatok kepada Pandawa, dan dia beribadat agar keberuntungan diraih oleh Pandawa.
  • Wirata: Raja Matsya. Ia menyediakan tempat bernaung bagi para Pandawa detik mereka menjalani masa penyamaran selama setahun. Wirata menikah dengan Sudesna dan memiliki sejumlah anak—Sweta, Wratsangka, Utara, dan Utari. Utari dijodohkan kepada Abimanyu, putra Arjuna, lalu melahirkan putra bernama Parikesit yang melanjutkan garis Dinasti Kuru.
  • Yayati: Seorang kanjeng sultan keturunan Betara Candra, nan merupakan leluhur Pandawa dan Korawa. Anda memiliki dua gula-gula bernama Dewayani dan Sarmista. Salah satu keturunan Dewayani ialah bangsa Yadawa, sementara pelecok satu keturunan Sarmista yaitu keluarga kesatria yang disebut
    Paurawa, meliputi keluarga raksasa Dinasti Kuru.

Silsilah

[sunting
|
sunting sumber]


Sukra Jayanti Nahusa

Asokasundari

Wresaparwa
Dewayani Yayati Sarmista
Yadu Turwasu Madawi Druhyu Si polan Puru
Bangsa
Yadawa
Suku
Yawana
4 putra Dinasti
Waiboja
Bangsa
Mleccha
Wangsa
Paurawa




Keturunan
Yayati
Wangsa
Paurawa
Sakuntala Duswanta
Watsa Bharata
Dinasti
Bharata
Batih
Bharata
Kuru Yamadi
Para Tuanku
Hastinapura
Dinasti
Kuru
Sunanda Pratipa
Gangga Santanu Satyawati Parasara
Bisma Citrānggada Wicitrawirya 2 istri Byasa
Gandari Dretarastra Kunti Pandu Madri
100 Korawa Dursala Yuyutsu 5 Pandawa


Ringkasan narasi

[sunting
|
sunting sumber]

Dalam naskah berbahasa Sanskerta,
Mahabharata
disajikan sebagai kisahan berbingkai (cerita di dalam cerita), dengan tiga narator: Ugrasrawa, Wesampayana, dan Sanjaya. Bersumber narasi Ugrasrawa disampaikan bahwa cerita
Mahabharata
pernah dituturkan makanya Wesampayana kepada Maharaja Janamejaya pecah Hastinapura. Pada awalnya, sang maharaja gagal mengadakan upacara pengorbanan ular belang. Untuk melipur duka sang maharaja, murid Byasa yang bernama Wesampayana diminta kerjakan menuturkan kisah kesuksesan leluhur si maharaja, yaitu raja-emir India Kuno yang berada dalam satu garis zuriat, di antaranya: Pururawa, Yayati, Puru, Bharata, dan Kuru.

Kisah utama
Mahabharata
berpusat pada riwayat seratus Korawa dan lima Pandawa yang merupakan keturunan raja-raja tersebut di atas, dengan konflik utama adalah perang saudara di Kurukshetra. Baik Korawa atau Pandawa merupakan dua keramaian pangeran dari Dinasti Kuru nan silam di istana Hastinapura, India Utara. Korawa yakni putra-putra Dretarastra, sedangkan Pandawa merupakan putra-putra Pandu, adik Dretarastra. Meskipun Korawa adalah putra-putra keturunan Kuru yang kian tua, tetapi hayat mereka semua—termasuk Duryodana, Korawa barap—lebih muda daripada Yudistira, Pandawa sulung. Baik Duryodana maupun Yudistira mengeklaim sebagai pewaris takhta nan purwa. Pertikaian memuncak menjadi sebuah perang di Kurukshetra, yang dimenangkan oleh pihak Pandawa.

Kisah
Mahabharata
diakhiri dengan wafatnya Kresna, kehancuran klan-klan Yadawa, dan diangkatnya para Pandawa ke kayangan. Peristiwa tersebut lagi diyakini dalam kepercayaan Hindu laksana permulaan zaman
Kaliyuga, yaitu zaman peradaban manusia yang keempat sambil keladak; zaman detik skor-skor yang mulia dan berharga mulai luntur, dan orang-insan cenderung berlaku dengan melengahkan kesahihan, moralitas, dan kejujuran.

Nenek moyang Pandawa dan Korawa

[sunting
|
sunting mata air]

Lukisan imajinatif akan halnya Pururawa, leluhur Pandawa dan Korawa, karya Kshitindranath Mazumdar (1914).

Kisah mengenai nenek moyang Pandawa dan Korawa, tokoh terdahulu
Mahabharata
dibawakan maka dari itu sendiri narator bernama Wesampayana kerumahtanggaan kerangka cerita berbingkai, kadangkala tidak berturutan karena riil kilas kencong. Apabila dirunut secara kronologis, kisahan diawali dengan riwayat Raja Pururawa, leluhur trah Candrawangsa yang diturunkan makanya Candra sang betara bulan. Cicit Pururawa ialah Yayati. Yayati memiliki dua cem-ceman (Dewayani dan Sarmista) dan lima putra; dua di antaranya (Yadu dan Puru) menurunkan dua kabilah kesatria termasyhur dalam mitos India, yakni Yadawa (diturunkan oleh Yadu) dan Paurawa (diturunkan oleh Frambusia). N domestik garis zuriat Patek, lahirlah Duswanta. Ia menikah dengan Sakuntala, putri angkat Resi Kanwa. Dari pernikahannya, Duswanta berputra Bharata. Di kemudian perian, Bharata menundukkan daratan India Kuno. Setelah ditaklukkan, kawasan kekuasaanya disebut Bharatawarsha nan berarti “kewedanan kekuasaan Maharaja Bharata”, menutupi Asia Selatan.[14]

Bharata menurunkan Hasti, yang kemudian mendirikan sebuah pusat pemerintahan bernama Hastinapura. Si Hasti meletakkan para baginda Hastinapura. Dari keluarga tersebut, lahirlah Kuru, yang memecahkan dan menyucikan sebuah wilayah luas yang disebut Kurukshetra (terletak di negara bagian Haryana, India Utara). Kuru menurunkan Dinasti Kuru atau Wangsa Kaurawa. Dalam Dinasti tersebut, lahirlah Pratipa, nan menjadi ayah Ratu Santanu, bibit buwit buyut Pandawa dan Korawa.

Kerabat Wangsa Kaurawa yakni Yadawa, karena kedua wangsa tersebut berasal dari kakek moyang yang sejajar, yaitu Yayati. Intern galur Wangsa Yadawa, lahirlah Basudewa, kanjeng sultan di Kerajaan Surasena, yang kemudian melahirkan Kresna, yang mendirikan Kerajaan Dwaraka. Kresna bersaudara sepupu dengan para Pandawa.

Santanu dan keturunannya

[sunting
|
sunting sendang]

Dalam
Mahabharata
dikisahkan bahwa Santanu adalah seorang paduka tuan mahsyur berpunca gudi Dinasti Kuru, yang memerintah kekaisaran Kuru dengan ibukota Hastinapura. Ia menikah dengan Dewi Gangga, cuma si dewi meninggalkannya karena Santanu melanggar janji pernikahan. Koalisi Santanu dengan Dewi Gangga membuahkan momongan yang diberi nama Dewabrata atau Bisma.

Beberapa tahun kemudian, saat Bisma telah dewasa, Santanu menikahi Satyawati, putri penjala. Mulai sejak hubungannya, Santanu babaran Citrānggada dan Wicitrawirya. Karena terjerat akan ikrar akad nikah antara Santanu dengan Satyawati, Bisma tidak berhak menjadi raja; kursi diserahkan kepada zuriat Satyawati, lain Bisma. Maka berpokok itu, setelah Santanu mangkat, Citrānggada diangkat menjadi raja, dengan Bisma umpama pelindungnya. Akan tetapi Citrānggada wafat di usia muda dalam satu pertempuran, sehingga ia digantikan oleh adiknya, Wicitrawirya. Doang Wicitrawirya lagi wafat di semangat cukup umur sebelum memiliki keturunan. Atas pertolongan seorang petapa sakti bernama Byasa, kedua istri gelap Wicitrawirya adalah Ambika dan Ambalika dapat memperoleh keturunan, tiap-tiap koteng putra nan diberi stempel Dretarastra (berusul Ambika) dan Pandu (dari Ambalika). Selain mereka, ada seorang anak lagi bernama Widura, terlahir dari koteng pelayan nan diberi baka oleh Resi Byasa.

Ilustrasi Pandu, Kunti, dan Madri ketika spirit di hutan perbukitan Satasringga. Ilustrasi berpangkal kitab
Mahabharata, Gorakhpur Geeta Press.

Karena Dretarastra terlahir buta, takhta imperium diserahkan kepada Pandu. Pandu mempunyai dua ampean: yang mula-mula adalah Kunti (upik dari kaum Yadawa); yang kedua ialah Madri (pemudi berasal kerajaan Madra). Karena memanah seorang pendeta yang sedang bersenggama, Pandu dikutuk agar mati apabila mengerjakan hubungan seksual. Kutukan tersebut telah memupus semangat Pandu bikin menjadi raja, sebab ia merasa tak akan berlimpah memiliki keturunan minus berbuat perikatan seksual. Pandu kembali memakzulkan diri, lampau mengajak kedua istrinya bikin menjalani kehidupan laksana pertapa di wana. Sebelum pergi, ia menyerahkan otoritas kepada Dretarastra.

Di kerumahtanggaan alas, Kunti teringat akan kemampuannya untuk menyapa dewa-dewa, tinggal memperoleh keturunan dari batara yang dipanggil. Berpunca pemanggilan Dewa Yama (Darma), Bayu, dan Indra, Kunti memperoleh tiga putra, masing-masing diberi nama: Yudistira, Bima, dan Arjuna. Kunti pun kondusif Madri memanggil dewa tertentu hendaknya memperoleh nasab. Dari Dewa Aswin yang dipanggil Madri, lahirlah Nakula dan Sadewa. Kelima putra Pandu tersebut dikenal umpama Pandawa.

Darurat itu, Dretarastra yang buta menikahi Gandari. Pasca- Yudistira lahir, Gandari risikonya congah memiliki nasab mendapat habuan bantuan Resi Byasa. Zuriat Gandari berjumlah seratus turunan putra dan seorang cewek nan dikenal dengan istilah Korawa; yang barap bernama Duryodana (Suyodana), dan nan perempuan bernama Dursala atau Dursilawati. Selain anak cucu semenjak Gandari, Dretaratra masih memiliki koteng putra pula, hasil hubungannya dengan seorang wanita waisya nan menjadi kuntum gandari. Putra tersebut bernama Yuyutsu.

Silang sengketa Pandawa dan Korawa

[sunting
|
sunting sumber]

Dalam
Mahabharata
diceritakan bahwa pada suatu detik, Pandu tengung-tenging akan kutukan yang menimpa dirinya, sehingga ia kembali gandeng fisik dengan Madri. Alhasil ia pula meregang nyawa. Saat upacara pembakaran jenazah Pandu, Madri mengamalkan
sati
(menceburkan diri ke jago merah pengabenan). Kemudian Kunti dan kelima Pandawa diajak kembali ke kastil Hastinapura. Mereka hidup di pangkal perlindungan sesepuh Dinasti Kuru: Bisma, Widura (perdana menteri), dan Krepa (guru keraton Hastinapura).

Seumpama pangeran Dinasti Kuru yang tertua, Yudistira hendak dicalonkan ibarat pewaris takhta. Sahaja, terjadi hubungan yang tidak baik antara kelima putra Pandu dengan seratus putra Dretarastra. Menurut kitab
Mahabharata, para Korawa (khususnya Duryodana) bersifat licik dan gegares keki hati dengan kekuatan Pandawa, padahal Pandawa bersifat nyenyat dan bersabar momen ditindas, kecuali Bima, Pandawa yang bertenaga paling kecil kuat. Meskipun demikian, di antara para putra Dretarastra, belaka Yuyutsu yang bukan memusuhi Pandawa. Karena Dretarastra lalu memanjakan putra-putranya, ia sayang dihasut maka dari itu iparnya yaitu Sangkuni (saudara Gandari), dan kerap lain menghentikan ambisi Duryodana nan berniat melakukan rencana jahat bikin mengeluarkan para Pandawa.

Puas suatu ketika, Duryodana mengundang Kunti dan para Pandawa untuk bertempoh di Waranawata. Di sana mereka menginap di sebuah kastil
Laksagreha
yang sudah disediakan maka dari itu Duryodana, dibangun oleh arsitek bernama Purocana. Duryodana mewajibkan Purocana kerjakan menyemangati
Laksagreha
tanpa diketahui oleh Pandawa. Sahaja bentuk Purocana akhirnya terbongkar. Pada waktu yang telah ditentukan, Pandawa melumpuhkan Purocana, habis Bima menggarangkan
Laksagreha
dari dalam. Berita juga disampaikan ke Hastinapura, terlampau Kunti dan para Pandawa dinyatakan telah tewas privat kebakaran.[15]
Secara mengendap-endap, para Pandawa berbuntut selamat berbintang terang gaung yang digali oleh para penambang, yang telah diutus oleh Widura. Privat perjalanan memakamkan diri, para Pandawa dan Kunti masuk ke sebuah pangan. Di hutan tersebut, Bima bertemu dengan raksasa bernama Hidimba dan membunuhnya. Lalu ia menikahi adik raksasa tersebut yang bernama Hidimbi. Dari pernikahan itu, Bima n kepunyaan putra yang diberi nama Gatotkaca.

Ijab kabul Pandawa

[sunting
|
sunting sumber]

Setelah melewati hutan alas, para Pandawa menuju ke Kerajaan Panchala. Di sana tersiar kabar bahwa Raja Drupada menyelenggarakan kejuaraan memperebutkan Dropadi. Karna, sahabat Duryodana mengimak perlombaan tersebut dan berhasil memenangkan sayembara, namun keberhasilannya ditolak maka dari itu Dropadi sebab Karna merupakan momongan kusir.[16]
[17]
Tanpa diketahui oleh para Korawa, Pandawa pun turut serta menghadiri sayembara itu, tetapi mereka menyamar misal suku bangsa brahmana.

Pandawa yang diwakili oleh Arjuna mengikuti kejuaraan dan bertelur memenangkannya. Pasca- itu perkelahian terjadi karena para hadirin menggerutu sebab kaum brahmana tak selayaknya mengikuti sayembara. Pandawa berkelahi kemudian meloloskan diri. sesampainya di rumah, mereka berkata kepada ibunya bahwa mereka datang mengapalkan hasil meradai. Ibu mereka pun menyuruh hendaknya hasil tersebut dibagi rata kerjakan seluruh saudaranya. Sahaja engkau tidak mengawasi bahwa anak-anaknya tidak tetapi membawa hasil meminta-minta, tetapi juga seorang wanita. Akhirnya, Dropadi menikahi kelima Pandawa.[18]

Permainan dadu

[sunting
|
sunting sumur]

Ilustrasi terceburnya Duryodana ke kerumahtanggaan empang di tengah istana ilusi milik Pandawa.

Selepas para Pandawa menikahi Dropadi, para tetua Dinasti Kuru menyambut mereka kembali di keraton Hastinapura. Agar tidak terjadi pun permusuhan di antara sesama tembuni, Imperium Kuru dibagi dua kepada Pandawa dan Korawa. Korawa memerintah Kerajaan Kuru induk (trik) dengan ibu kota Hastinapura, sementara Pandawa memerintah Kerajaan Kurujanggala dengan ibu kota Indraprastha. Istana Indraprastha dibangun oleh Mayasura, dan dikenal sebagai “istana ilusi”.[19]
Kemegahannya mewujudkan Duryodana dan Sangkuni terkagum-kagum. Karena ilusinya, Duryodana tercebur ke kerumahtanggaan kolam yang dia kira seumpama lantai, sehingga dirinya menjadi bahan usikan bikin para Pandawa, kecuali Yudistira.[20]

Buat merebut kekayaan dan kerajaan Yudistira, Duryodana mengundang Yudistira lakukan main dadu. Pada saat permainan dadu, Duryodana diwakili makanya Sangkuni laksana bandar dadu, nan memiliki kesaktian untuk mengatak nilai dadu yang dia inginkan. Seiring kekalahan Yudistira, taruhan permainan terus meningkat, sebatas kesudahannya Yudistira menjaminkan kerajaannya sendiri. Kemudian Yudistira mempertaruhkan kebebasan saudara-saudaranya, hingga akhirnya ia mempertaruhkan kemerdekaan dirinya sendiri. Dalam kondisi tidak n kepunyaan apa-lebih-lebih lagi, pihak Korawa ki memanas-manasi Yudistira bikin mempertaruhkan Dropadi. Seperti permainan sebelumnya, taruhan itu juga dimenangkan maka itu Korawa.

Dursasana menjujut pakaian Dropadi, setelah para Pandawa kalah main dadu. Lukisan karya R.G. Chonker.

Intern keadaan tersebut, karena para Pandawa dan Dropadi telah menjadi kepunyaan Duryodana, mereka diminta bakal melucuti pakaian. Dropadi tidak cak hendak melakukannya sehingga pakaiannya ditarik paksa maka itu Dursasana. Cuma ia tidak bertelur membuka pakaian Dropadi membujur pertolongan gaib mulai sejak Sri Kresna. Melihat istrinya dihina, Bima bersumpah akan membunuh Dursasana dan membantai para Korawa. Setelah mengucapkan sumpah tersebut, perlambang tunggul yang buruk muncul di Hastinapura. Dretarastra mendapat firasat bahwa malapetaka akan menimpa keturunannya, sehingga sira mengembalikan segala harta Yudistira yang dijadikan taruhan.

Duryodana merasa tawar hati karena Dretarastra sudah membalas semua harta yang sememangnya akan menjadi miliknya. Atas desakan Duryodana, permainan dadu diselenggarakan untuk yang kedua kali. Kali ini pihak yang kalah harus berkonsentrasi ke hutan sejauh 12 periode, setelah itu hidup privat masa penyamaran selama setahun, dan selepas itu berhak kembali pun ke kerajaannya. Apabila penyamaran terbongkar sebelum genap setahun, maka pihak yang kalah harus mengulang sekali lagi periode pengasingan selama 12 musim. Untuk yang kedua kalinya, Yudistira menirukan permainan tersebut dan tetap kalah. Sesuai perjanjian, Pandawa terpaksa meninggalkan kerajaan mereka sepanjang 12 perian dan sukma dalam hari penyamaran selama setahun.

Pengasingan Pandawa

[sunting
|
sunting sumber]

Ilustrasi para Pandawa beserta Dropadi melanglang menuju jenggala untuk memulai hari pengasingannya.

Kisahan lokap Pandawa dan istri mereka selama 12 tahun diceritakan dalam kitab
Wanaparwa. Sepanjang menjalani masa pengasingan di hutan, ada banyak hal yang ditemui oleh para Pandawa dan Dropadi. Selama masa sengkeran itu, Arjuna pergi ke swargaloka dan memperoleh berbagai ragam ilmu serta senjata berilmu. Penutup masa rumah pasung para Pandawa ditutup dengan cerita pertemuan Yudistira dengan yaksa yang membunuh keempat Pandawa dengan cara meracuni air yang mereka meneguk. Yaksa tersebut mengajukan banyak pertanyaan kepada Yudistira apabila kepingin para Pandawa hidup kembali. Yudistira menjawab pertanyaan sang yaksa dengan sopan sehingga saudara-saudaranya berdampak dihidupkan.

Setelah para Pandawa dan Dropadi menjalani waktu pengasingan selama 12 waktu, mereka harus menjalani masa penyamaran sejauh setahun dan tidak boleh terbongkar sebelum genap setahun. Kisah penyamaran mereka teragendakan dalam
Wirataparwa. Dikisahkan bahwa mereka memintal kerajaan Matsya yang dipimpin Wirata laksana panggung penyamaran. Di sana, Yudistira menyamar seumpama seorang ahli agama dan permainan dadu nan bernama Kangka; Bima menyamar sebagai juru masak nan bernama Balawa; Arjuna menyamar sebagai kasim pelatih tari di keputren bernama Wrehanala; Nakula menyamar bak pengurus kuda yang bernama Grantika; Sadewa menyamar sebagai penggembala sapi bernama Tantipala alias Aristanemi; Dropadi menyamar andai seorang pelayan
sairandri
bernama Malini. Menjelang musim penyamaran tersebut berparak, pasukan Kuru yang dipimpin Duryodana menginvasi kerajaan Matsya pasca- Susarma berpokok Trigarta memprediksi kehadiran para Pandawa di kerajaan tersebut. Pada perian saat berakhirnya masa penyamaran, Arjuna menampakkan diri di hadapan para prajurit Kuru. Ia sekali lagi berhasil mencampakkan invasi Kuru di Matsya.

Perang Kurukshetra

[sunting
|
sunting mata air]

Lukisan tentara Korawa (kiri) berhadapan dengan angkatan Pandawa. Suatu ilustrasi dari tulisan tangan
Mahabharata
abad ke-18, berasal Mewar, India.

Sesudah hari pengasingan habis dan sesuai dengan perjanjian yang protokoler, para Pandawa kembali ke Hastinapura dan berusaha mengoper Indraprastha nan dikuasai tentatif maka dari itu Duryodana selama 13 tahun. Namun Duryodana menganggap bahwa penyamaran Arjuna telah terbongkar momen laskar Kuru menyerang kerajaan Matsya, sehingga para Pandawa seharusnya menjalani pengasingan pun. Sedangkan menurut perhitungan Bisma, penyamaran Arjuna terbongkar pasca- masa penyamaran sudah genap setahun. Untuk menghindari perselisihan selanjutnya, para sesepuh kerajaan memajukan seharusnya Duryodana berdamai dengan para Pandawa. Misi damai dilakukan oleh Kresna, yang mengusulkan agar Pandawa diberikan lima desa cuma ibarat pengganti Indraprastha. Belaka Duryodana kukuh akan pendiriannya, dan tidak kepingin menyerahkan sebidang tanah kepada Pandawa kendatipun saja seluas ujung jarum. Karena perundingan damai tidak menemui mufakat, akhirnya kedua pihak bersepakat bakal menuntut ganti rugi jalur kekerasan, dengan lapangan Kurukshetra sebagai palagan pertempuran.

Sebelum perang meletus, Pandawa telah berusaha mencari sekutu. Mereka mendapat bantuan laskar berpangkal Kerajaan Kekaya, Imperium Matsya, Kerajaan Pandya, Kerajaan Chola, Imperium Kerala, Kerajaan Magadha, Kekaisaran Dwaraka, dan laskar Narayana didikan Satyaki dari suku bangsa Yadawa. Para kesatria segara bermula Panchala pro Pandawa, meliputi: Drupada, Drestadyumna, Srikandi, Yudamanyu, dan Utamoja. Pandawa pula memperoleh bantuan faktual pasukan samudra yang dipimpin Gatotkaca, serta armada naga nan dipimpin Irawan.[21]
Pandawa memilih Drestadyumna bagaikan panglima, sementara Kresna sebagai ahli strategi nan enggak terlibat sekalian intern balasan.

Di pihak Korawa, Duryodana memohon Bisma bakal mengusung pasukannya, sementara Sangkuni ditunjuk sebagai ahli ketatanegaraan yang terlibat langsung internal pertempuran. Laskar Korawa dibantu oleh guru militer Drona beserta putranya Aswatama. Korawa pula mengajak ari-ari ipar mereka yaitu Jayadrata (Raja Sindhu). Selain itu, jantan yang turut mendukung Korawa menutupi: master Krepa (purohita Hastinapura), Kertawarma dari Yadawa (panglima laskar Narayana), Salya (Raja Madra), Bahlika (Raja Bahlika) dan Burisrawa, Uluka dari Gandhara, Susarma dari Trigarta, Wrehadbala dari Kosala, Sudaksina berasal Kamboja, Bagadata dari Pragjyotisha, dan masih banyak lagi.[21]

Perbantahan berlangsung selama 18 masa penuh. Internal pertempuran itu, banyak kesatria yang gugur di kedua belah pihak. Perang diakhiri dengan duel antara Duryodana menjajari Bima, nan dimenangkan oleh Bima. Namun Duryodana masih sempat menggotong Aswatama sebagai panglima pasukannya kerjakan membalas permusuhan. Pada malam periode sehabis perang berakhir, Aswatama menyusup ke perkemahan Pandawa bakal mendebah para bagak yang masih hidup. Sesudah gempuran lilin batik tersebut, hanya sepuluh kesatria yang bertahan hidup di kedua belah pihak. Dari pihak Pandawa, berani nan sintas yaitu: Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa, Yuyutsu, dan Satyaki. Berpunca pihak Korawa, cak semau tiga kesatria yang sintas: Aswatama, Krepa, dan Kertawarma.

Pascaperang

[sunting
|
sunting sumber]

Ilustrasi formalitas
Aswamedha, dari buku
History of India
(1906) – Vol 1.

Sesudah perang berpisah, seremoni keagamaan segera dilangsungkan untuk mereka yang sudah gugur di medan perang Kurukshetra. Janda-janda para bagak yang ranggas meratapi sukma suami dan anak asuh-anak mereka yang berpartisipasi privat perang tersebut. Gandari mengetahui bahwa Kresna dapat menghentikan perang, tetapi Kresna malah tidak melakukannya. Ia juga menyumpahi agar keluarga Kresna binasa privat percederaan dengan sesama, sebab ia ingin Kresna merasakan bagaimana kekurangan keluarga dalam satu perang saudara. Kresna menerima kutukan tersebut dengan lapang dada.[22]

Dalam
Mahabharata
dikisahkan bahwa era mentah dimulai dengan penobatan Yudistira sebagai Paduka Hastinapura, sedangkan Yuyutsu diberi kuasa atas kota Indraprastha. Lamun telah menjabat sebagai sinuhun, hatinya gundah gulana sebab jabatan nan diraihnya tersebut ditebus makanya pengorbanan spirit yang tinggal banyak. Lakukan melengahkan kegalauan sang raja, Tanda terima Narada dan Byasa menerimakan wejangan yang sangat janjang kepadanya. Wejangan tersebut yakni episode terpanjang dalam wiracarita ini.[23]
Setelah menerima ujar-ujar berpunca para resi, Yudistira mengakui wejangan terakhir dari Bisma, yang masih hidup dan berbaring sekarat di medang perang Kurukshetra berkat kesaktian nan dianugerahkan Santanu kepadanya. Kesannya Bisma menghembuskan napas anak bungsu sehabis ia menyerahkan ular-ular kepada Yudistira.[24]

Atas saran dari Kresna, Yudistira menyelenggarakan upacara aswamedha demi menegakkan hegemoninya di Bharatawarsha. Dalam upacara tersebut, seekor aswa dilepas dan dibiarkan berlari bebas, sementara laskar Kuru nan dipimpin Arjuna mengajuk kuda tersebut berpangkal belakang. Apabila kuda tersebut ditangkap saat memasuki daerah kerajaan tertentu, maka Arjuna akan menantang penguasa kerajaan tersebut. Apabila kuda tersebut tidak ditangkap, makanya pertanda bahwa penguasa imperium sudah mengakui wibawa Yudistira. Wilayah selama jangkauan kuda tersebut berlari akan diakui sebagai kawasan hegemoni kekaisaran yang dipimpin Yudistira.[25]
[26]

Pengunduran diri para sesepuh

[sunting
|
sunting sumber]

“Kembalinya para kesatria yang telah ranggas di Kurukshetra.” Ilustrasi tentang suatu cerita
Mahabharata, dari buku
Indian Myth and Legend, 1913.

Panca belas perian sesudah Yudistira dinobatkan sebagai yang dipertuan, Dretarastra memutuskan lakukan meninggalkan kastil Hastinapura. Sebelumnya, ia dan Yudistira hidup berdampingan secara damai sejak perang berakhir; Yudistira pun selalu berkonsultasi kepada Dretarastra tentang masalah tata negara. Dretarastra memutuskan buat meninggalkan karena tidak tahan pula dengan sindiran dan kata-pembukaan yang menyelekit bersumber Bima, yang dulu telah membantai seluruh putranya dalam perang Kurukshetra. Atas wejangan dari Resi Byasa, Yudistira kembali memaklumi keputusan Dretarastra dan mengizinkannya memencilkan. Gandari, Kunti, Widura, dan Sanjaya membelakangkan lakukan mengimak Dretarastra. Para pasak negeri memutuskan cak bagi hidup di hutan sebagai petapa demi menuntaskan janjang semangat mereka yang keempat (sanyasin).[27]
Mereka menetap di rimba kediaman Tanda terima Byasa. Yang purwa meninggal dunia adalah Widura; jenazahnya permulaan kali ditemukan oleh Yudistira.

Mengerti bahwa Dretarastra masih diliputi gobar akan mortalitas putra-putranya, Tanda terima Byasa menunjukkan sebuah mukjizat kepada anggota Dinasti Kuru yang masih vitalitas pron bila itu. Pertama ia menyuruh mereka berkumpul di comberan bengawan Gangga, kemudian dengan kesaktiannya beliau menamai roh para kesatria yang gugur di medan perang Kurukshetra, dan takhlik mereka menampakkan wujud. Dretarastra yang buta pun diberi penglihatan pada saat itu agar bisa menyaksikan wajah putra-putranya untuk yang pertama kalinya. Pada kesempatan itu pula, umur para putra Dretarastra dan Karna berdamai dengan para Pandawa.[28]
[29]

Bertahun-waktu kemudian, Tanda terima Narada menclok ke Hastinapura dan mengabarkan bahwa Dretarastra, Gandari, dan Kunti telah wafat karena gosong makanya jago merah suci yang meranggah asrama kediaman mereka, dan atma mereka telah mencapai kondisi moksa.[30]
Sanjaya berhasil mengebumikan diri atas permohonan mereka. Kemudian Yudistira menyelenggarakan formalitas cak bagi mereka yang wafat kerumahtanggaan situasi kebakaran tersebut.

Fasad kaum Yadawa

[sunting
|
sunting sumber]

Lukisan kehancuran kaum Yadawa, karya M.V. Dhurandhar (1922).

Diceritakan bahwa 36 tahun sesudah Yudistira naik takhta, Kresna merasa bahwa keberhasilan bangsanya akan berakhir, sebab beliau menyibuk bahwa banyak pemuda klan Wresni, Boja, dan Andaka (semuanya kaum Yadawa) nan berkelakuan buruk. Pada suatu musim, Narada beserta beberapa surat bahari berkunjung ke Dwaraka, kediaman para Yadawa. Beberapa pemuda menghelah para resi dengan cara mengarak Samba yang menyamar menjadi wanita hamil, lalu mereka memohon agar para resi memprediksi jenis kelamin bayi yang dikandung. Para resi tahu bahwa mereka sedang dipermainkan. Mereka pun menghamuni Samba bahwa ia akan melahirkan
mosala
(gada) yang akan memberantas kaum Yadawa.

Enggak lama kemudian, Samba pun melahirkan gada besi. Atas perintah Raja Ugrasena, senjata itu kemudian dihancurkan sampai menjadi serbuk, adv amat dibuang ke laut.[31]
Duli-debu tersebut kembali ke rantau, dan dari serbuk tersebut tumbuhlah pokok kayu
eraka, sama dengan rumput tetapi memiliki daun nan tajam bagai pedang.[32]
Atas saran Kresna, para Yadawa berbuat perjalanan jati menuju Prabhastirtha, dan mereka melangsungkan upacara di pinggir tepi laut. Di pantai, mereka mereguk ciu sampai mabuk. N domestik kondisi mabuk, mereka bertikai sambil melempar benda apa pun yang ada di damping mereka. Suket
eraka
nan tumbuh di sekeliling palagan itu mereka cabut lakukan digunakan sebagai senjata.[33]
Hasilnya para Yadawa beradu dengan sesamanya secara membabi buta. Setelah kekacauan berakhir, hanya bilang Yadawa yang selamat, sebagian segara yakni wanita.

Tak lama kemudian, Baladewa wafat. Kematiannya disusul oleh Kresna, nan wafat sesudah telapak kakinya dipanah koteng pemburu.[34]
[35]
Arjuna yang mengakui kabar tersebut segera tiba mendekati Dwaraka untuk mengungsikan para wanita dan kesatria yang masih sintas. Setelah wafatnya Kresna, Dwaraka ditelan maka dari itu samudra. Para wanita nan diungsikan oleh Arjuna ditempatkan di selingkung Kurukshetra.

Akhir kisah

[sunting
|
sunting sumber]

Sehabis kemusnahan klan Wresni dan Andaka, serta atas wejangan berpokok Byasa, Yudistira memutuskan untuk makzul.[36]
Ia menyerahkan kedudukan kepada cucu Arjuna, yaitu Parikesit, dengan Yuyutsu menjabat sebagai pejabat raja. Padahal, Bajra putra Aniruda pecah kabilah Yadawa diberi kuasa atas daerah tingkat Indraprastha. Kemudian, Yudistira bersama Pandawa dan Dropadi mengembara ke berbagai arena-tempat suci di penjuru India, lalu panjat ardi Himalaya sebagai harapan penutup perjalanan mereka. Dalam perjalanan, suatu tiap-tiap suatu meninggal manjapada, diawali berbunga Dropadi, disusul oleh para Pandawa, menginjak dari nan bungsu (Sadewa). Doang Yudistira nan sintas dan bernas mencapai puncak gunung. Dewa Indra menjemputnya ke keindraan dengan kereta kencana. Sebelum mencapai surga, sang batara memberikan testing bontot bagi Yudistira. Yudistira berdampak lolos dalam ujian tersebut, dan akhirnya mendapatkan kebahagiaan.[37]
[38]

Kitab
Mahabharata
terjemahan naskah Sanskerta ditutup dengan akhir yang bahagia bakal pihak Pandawa dan Korawa.[39]
Kerumahtanggaan narasi yang dituturkan Wesampayana, disebutkan bahwa Pandawa, Dropadi, Karna, para putra Dretarastra, para sesepuh Dinasti Kuru, serta para kesatria yang gugur di Kurukshetra mutakadim mencapai surga dan kediaman para batara, berkumpul bersama-sama, damai dan bebas semenjak segala durjana murka.[40]

Konteks sejarah

[sunting
|
sunting sumber]

Tidak jelas mengenai kapan terjadinya Perang Kurukshetra. Banyak sejarawan memperkirakan perang ini terjadi pada Zaman Besi di India pada abad ke-10 SM.[41]
Bidang wiracarita tersebut memiliki runding historis lega Zaman Ferum (Weda) di India, yakni saat Kekaisaran Kuru menjadi pusat pengaruh politik sejauh kurang lebih 1200 sebatas 800 SM.[42]
Konflik intern dinasti Kuru plong masa itu kemudian menjadi sumber inspirasi
Jaya, yang menjadi peletak bawah naskah
Mahabharata, dengan klimaksnya konkret perang yang akhirnya dipandang sebagai peristiwa terdahulu.

Naskah Purana menyebutkan genealogi pelopor-tokoh
Mahabharata. Bukti keberadaannya pada Purana memiliki dua versi. Versi purwa, ada pernyataan bahwa pengangkatan Mahapadma Nanda (400-329 SM) terjadi 1.015 (alias 1.050) tahun sehabis kelahiran Parikesit (cucu Arjuna), sehingga Baratayuda diperkirakan terjadi puas 1400 SM.[43]
Semata-mata, tersirat bahwa periode syah-paduka tuan memerintah beralaskan genealogi tersebut sangat singkat.[44]
Versi kedua, adalah analisis genealogis paralel intern Purana antara tahun pemerintahan Adisimakresna (cicit Parikesit) dan Mahapadma Nanda. Pargiter membayangkan 26 generasi dengan merata-rata daftar deka- dinasti yang berbeda dan, berasumsi 18 tahun masa pemerintahan kaisar-prabu itu. Hasilnya Adisimakresna diperkirakan memerintah pada 850 SM dan Baratayuda kira-sangka terjadi pada 950 SM.[45]

B. B. Lal menggunakan pendekatan yang proporsional, dengan asumsi lebih konservatif tercalit masa pemerintahan lazimnya dengan kalkulasi sebatas 836 SM, dan mengaitkannya dengan bukti arkeologis situs
Painted Grey Ware, yang menjadi keterkaitan kuat antara artefak PGW dan bekas yang disebut dalam wiracarita.[46]
John Keay mengonfirmasinya dan memberikan tanggal 950 SM lakukan Baratayuda.[47]

Upaya penentuan tanggal memperalat metode arkeoastronomi menghasilkan perkiraan antara penutup milenium ke-4 menjejak-2 SM, bergantung bagian mana yang dipilih dan bagaimana interpretasinya.[48]
Akhir milenium ke-4 SM ditentukan berdasarkan perhitungan zaman Kaliyuga, berdasarkan konjungsi satelit, makanya Aryabhata (abad ke-6). Tanggal perang Mahabharata menurut Aryabhata, 18 Februari 3102 (SM, dikenal luas dalam tradisi India. Sejumlah sumber menandakan ini perumpamaan menghilangnya Kresna berbunga Bumi.[49]
Prasasti Aihole dari zaman Pulikeshi II, tertanggal 556 Saka (634 M), mengeklaim bahwa Perang Baratayuda dimulai pada 3.735 tahun dulu, sehingga perang tersebut diperkirakan terjadi lega 3137 (SM.[50]
[51]
Sejumlah mazhab astronom dan ahli tarikh tradisional, diwakili oleh Vriddha-Garga, Varahamihira (pengarang
Brhatsamhita), dan Kalhana (pengarang
Rajatarangini), menyatakan bahwa Baratayuda terjadi 653 musim sehabis zaman Kaliyuga, atau seputar 2449 (SM.[52]

Pengaruh dalam budaya

[sunting
|
sunting sumber]

Selain berisi narasi kepahlawanan (wiracarita), Mahabharata juga mengandung nilai-nilai Hindu, mitologi dan bermacam rupa wahi lainnya. Oleh sebab itu cerita Mahabharata ini dianggap suci, teristimewa oleh pemeluk agama Hindu. Kisah nan awal ditulis dalam bahasa Sanskerta ini kemudian disalin dalam berbagai macam bahasa, terutama mengimak perkembangan peradaban Hindu puas masa lampau di Asia, termasuk di Asia Tenggara.

Di Indonesia, kopi beraneka ragam bagian berusul Mahabharata, seperti
Adiparwa,
Wirataparwa,
Bhismaparwa
dan mungkin lagi bilang parwa yang tidak, diketahui mutakadim digubah dalam bentuk prosa bahasa Kawi (Jawa Kuno) mulai sejak akhir abad ke-10 Kristen. Yaitu puas perian rezim sri paduka Dharmawangsa Teguh (991-1016 M) dari Kadiri. Karena sifatnya itu, bagan prosa ini dikenal sekali lagi seumpama sastra parwa.

Yang terlebih populer privat tahun-masa kemudian ialah penggubahan cerita itu dalam bentuk kakawin, yakni puisi lawas dengan metrum India berpendidikan Jawa Kuno. Salah satu nan tenar ialah
kakawin Arjunawiwaha
(Arjunawiwāha, perkawinan Arjuna) gubahan mpu Kanwa. Karya yang diduga ditulis antara 1028-1035 M ini (Zoetmulder, 1984) dipersembahkan bagi kanjeng sultan Airlangga dari kerajaan Medang Kamulan, menantu raja Dharmawangsa.

Karya sastra lain yang juga terkenal adalah Kakawin Bharatayuddha, nan digubah makanya mpu Sedah dan belakangan diselesaikan oleh mpu Panuluh (Panaluh). Kakawin ini dipersembahkan bagi Prabu Jayabhaya (1135-1157 M), ditulis sreg sekitar pengunci tahun tadbir raja Daha (Kediri) tersebut. Di luar itu, mpu Panuluh kembali batik kakawin
Hariwangśa
pada waktu Jayabaya, dan diperkirakan pula menggubah Gaţotkacāśraya pada waktu raja Kertajaya (1194-1222 M) berpokok Kediri.

Beberapa kakawin lain turunan Mahabharata nan juga terdepan untuk disebut, di antaranya yaitu Kŗşņāyana (karya mpu Triguna) dan
Bhomāntaka
(pengarang tak dikenal) keduanya berbunga zaman kerajaan Kediri, dan
Pārthayajña
(mpu Tanakung) di penutup zaman Majapahit. Tindasan skenario-tulisan tangan kuno yang tertulis dalam makao-lembar patera lontar tersebut juga diketahui tersimpan di Bali.

Di samping itu, mahakarya sastra tersebut juga berkembang dan memberikan inspirasi bagi bervariasi bentuk budaya dan seni pengungkapan, terutama di Jawa dan Bali, menginjak dari seni arca dan seni ukir (cukilan) sreg candi-candi, seni tari, seni lukis hingga seni pertunjukan seperti wayang kulit dan wayang orang. Di dalam masa yang bertambah belakangan, kitab Bharatayuddha sudah lalu disalin juga maka dari itu pujangga kraton Surakarta Yasadipura ke internal bahasa Jawa beradab puas sekeliling abad ke-18.

Kerumahtanggaan mayapada sastra tersohor Indonesia, kisah Mahabharata lagi disajikan melalui bentuk komik yang membuat kisahan ini dikenal luas di kalangan awam. Salah suatu nan terkenal adalah karya dari R.A. Kosasih. Pada era budaya populer khususnya di permukaan pertelevisian, kisah
Mahabharata
ditayangkan oleh STAR Plus dan antv dengan judul
Mahabharat.

Catatan kaki

[sunting
|
sunting sumber]


  1. ^


    Datta, Amaresh (1 January 2006).
    The Encyclopaedia of Indian Literature (Tagihan Two) (Devraj to Jyoti). ISBN 978-81-260-1194-0.





  2. ^


    Austin, Christopher R. (2019).
    Pradyumna: Lover, Magician, and Son of the Avatara
    (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. hlm. 21. ISBN 978-0-19-005411-3.




  3. ^


    a




    b



    Brockington (1998, p. 26)

  4. ^


    Pattanaik, Devdutt. “How did the ‘Ramayana’ and ‘Mahabharata’ come to be (and what has ‘dharma’ selokan to do with it)?”.
    Scroll.in.





  5. ^

    Van Buitenen;
    The Mahabharata
    – 1; The Book of the Beginning. Introduction (Authorship and Date)

  6. ^


    James G. Lochtefeld (2002).
    The Illustrated Encyclopedia of Hinduism: A-M. The Rosen Publishing Group. hlm. 399. ISBN 978-0-8239-3179-8.





  7. ^


    T. R. S. Sharma; June Gaur; Sahitya Akademi (New Delhi, Inde). (2000).
    Ancient Indian Literature: An Anthology. Sahitya Akademi. hlm. 137. ISBN 978-81-260-0794-3.





  8. ^

    Spodek, Howard. Richard Mason. The World’s History. Pearson Education: 2006, New Jersey. 224, 0-13-177318-6

  9. ^

    Amartya Sen,
    The Argumentative Indian. Writings on Indian Culture, History and Identity, London: Penguin Books, 2005.

  10. ^


    W. J. Johnson (1998).
    The Sauptikaparvan of the Mahabharata: The Massacre at Night. Oxford University Press. hlm. ix. ISBN 978-0-19-282361-8.





  11. ^

    Bhandarkar Institute, Pune Diarsipkan 2022-10-19 di Wayback Machine.—Virtual Pune

  12. ^


    Davis, Richard H. (2014).
    The “Bhagavad Gita”: A Biography. Princeton University Press. hlm. 38. ISBN 978-1-4008-5197-3.





  13. ^


    Krishnan, Bal (1978).
    Kurukshetra: Political and Cultural History. B.R. Publishing Corporation. hlm. 50. ISBN 9788170180333.





  14. ^


    “History of Bharatavarsha”. Diarsipkan bermula versi suci tanggal 2005-07-16. Diakses tanggal
    2005-07-16
    .





  15. ^


    “Book 1: Adi Parva: Jatugriha Parva”. Sacred-texts.com. Diakses tanggal
    1 September
    2022
    .





  16. ^


    VISHNU S. SUKTHANKAR (11 March 2022). “THE MAHABHARATHA”. BHANDARKAR ORIENTAL RESEARCH INSTITUTE, POONA – via Internet Archive.




  17. ^


    “The Bhandarkar Oriental Research Institute : Mahabharata Project”.
    bori.ac.in. Diarsipkan pecah versi suci tanggal 2022-12-20. Diakses sungkap
    2021-07-04
    .





  18. ^


    Johnson, W. J. (2009). “Arjuna”.
    A Dictionary of Hinduism. Oxford University Press. doi:10.1093/acref/9780198610250.001.0001. ISBN 978-0-19861-025-0.





  19. ^


    “Book 2: Sabha Parva: Sabhakriya Parva”. Sacred-texts.com. Diakses tanggal
    1 September
    2022
    .





  20. ^


    “Sabha parva”. Sacred-texts.com. Diakses terlepas
    13 July
    2022
    .




  21. ^


    a




    b



    Ganguli, K.M. (1883-1896) “Bishma Parva” in
    The Mahabharata of Krishna-Dwaipayana Vyasa
    (12 Volumes). Calcutta

  22. ^


    Doniger, Wendy (1980-10-13).
    The Origins of Evil in Hindu Mythology. University of California. hlm. 263. ISBN 9780520040984. Diakses tanggal
    17 October
    2022
    .





  23. ^


    S. N. Mishra (2003).
    Public governance and decentralisation, Vol. 1. Mittal Publications. hlm. 935. ISBN 81-7099-918-9.





  24. ^

    Dutt, M.N. (1903)
    The Mahabharata (Volume 13): Anushasana Parva. Calcutta: Elysium Press

  25. ^

    Ganguli, K.M. (1883-1896) “Aswamedha Parva” in
    The Mahabharata of Krishna-Dwaipayana Vyasa
    (12 Volumes). Calcutta

  26. ^

    Dutt, M.N. (1905)
    The Mahabharata (Tagihan 14): Ashwamedha Parva. Calcutta: Elysium Press

  27. ^

    John Murdoch (1898), The Mahabharata – An English Abridgment, Christian Literature Society for India, London, pages 125-128

  28. ^

    Ganguli, K.M. (1883-1896) “Asramavasika Parva” in
    The Mahabharata of Krishna-Dwaipayana Vyasa
    (12 Volumes). Calcutta

  29. ^

    Dutt, M.N. (1905)
    The Mahabharata (Volume 15): Ashramavasika Parva. Calcutta: Elysium Press

  30. ^


    Pattanaik, Devdutt. “Tears of Gandhari”.
    Devdutt.





  31. ^

    Ushasri (2001), Bharatam (Dviteeya Bhagam), Telugu Edition, Tirumala Tirupati Devasthanam’s Religious Publication Series. No.: 111, Page 493

  32. ^

    C Rajagopalachari (2008), Mahabharata, 52nd Edition, Bhavan’s Book University. ISBN 81-7276-368-9, Page 436

  33. ^

    Monier Monier-Williams,
    A Sanskrit-English Dictionary, hlm. 186, di Google Books , see Column 1, entry for Eraka

  34. ^


    “Bhagvata Purana”.




  35. ^


    “Mahabharata”.




  36. ^

    John Murdoch (1898), The Mahabharata – An English Abridgment, Christian Literature Society for India, London, pages 132-137

  37. ^

    Ganguli, K.M. (1883-1896) “Svargarohanika Parva” in
    The Mahabharata of Krishna-Dwaipayana Vyasa
    (12 Volumes). Calcutta

  38. ^

    Dutt, M.N. (1905)
    The Mahabharata (Debit 18): Swargarohanika Parva. Calcutta: Elysium Press

  39. ^


    Ganguli, K.M. “Svargarohanika Parva”.
    Mahabharata of Krishna Dvaipayana Vyasa. Calcutta: Sacred-Text.com.





  40. ^


    Rajagopalachari, Chakravarti (2005).
    “Yudhishthira’s final trial”
    Perlu mendaftar (gratis)

    .
    Mahabharata
    (edisi ke-45th). Mumbai: Bharatiya Vidya Bhavan. ISBN 978-81-7276-368-8.





  41. ^

    In discussing the dating question, historian A. L. Basham says: “According to the most popular later tradition the Mahabharata War took place in 3102 (BCE, which in the light of all evidence, is quite impossible. More reasonable is another tradition, placing it in the 15th century BCE, but this is also several centuries too early in the light of our archaeological knowledge. Probably the war took place around the beginning of the 9th century BCE; such a date seems to segar well with the scanty archaeological remains of the period, and there is some evidence in the Brahmana literature itself to show that it cannot have been much earlier.” Basham, p. 40, citing HC Raychaudhuri,
    Political History of Ancient India, pp.27ff.

  42. ^

    M Witzel,
    Early Sanskritization: Origin and Development of the Kuru state, EJVS vol.1 no.4 (1995); also in B. Kölver (ed.),
    Recht, Staat und Verwaltung im klassischen Indien. The state, the Law, and Administration in Classical India, München, R. Oldenbourg, 1997, p.27-52

  43. ^

    A.D. Pusalker,
    History and Culture of the Indian People, Vol I, Chapter XIV, p.273

  44. ^

    FE Pargiter,
    Ancient Indian Historical Tradition, p.180. He shows estimates of the average as 47, 50, 31 and 35 for various versions of the lists.

  45. ^

    Pargiter,
    op.cit.
    p.180-182

  46. ^

    B. B. Lal,
    Mahabharata and Archaeology
    in Gupta and Ramachandran (1976), p.57-58

  47. ^


    Keay, John (2000).
    India: A History. New York City: Grove Press. hlm. 42. ISBN 978-0-8021-3797-5.





  48. ^

    Gupta and Ramachandran (1976), p.246, who summarize as follows: “Astronomical calculations favor 15th century BCE as the date of the war while the Puranic data place it in the 10th/9th century BCE. Archaeological evidence points towards the latter.” (p.254)

  49. ^


    “Lord Krishna lived for 125 years | India News – Times of India”.
    The Times of India.





  50. ^


    “5151 years of Gita”. 19 January 2022.




  51. ^

    Gupta and Ramachandran (1976), p.55; AD Pusalker, HCIP, Vol I, p.272

  52. ^

    AD Pusalker,
    op.cit.
    p.272

Daftar pustaka

[sunting
|
sunting mata air]

  • S Pendit, Nyoman (2003),
    Mahabharata, PT Gramedia Referensi Penting, ISBN 979-22-0352-4
    .
  • Haryanto, S. (1988),
    Pratiwimba Adiluhung, memori dan kronologi wayang., Jakarta: Penerbit Djambatan
  • Zoetmulder P.J. (1983),
    Kalangwan, sastra Jawa Kuno selayang pandang, Penerbit Djambatan

Pranala asing

[sunting
|
sunting sumur]

  • Kitab Mahabharata menurut versi India – situs tentang Mahabharata



Source: https://id.wikipedia.org/wiki/Mahabharata

Posted by: soaltugas.net